Batik Kasumedangan yang Penuh Akan Simbol Budaya

Sudah pada tahu dong, batik kasumedangan? Sudah pernah pakai juga? Atau sudah pernah nyoba bikin juga? Batik kasumedangan motif dalam bentuk ornamen maupun lambang yang bersumber dari nilai-nilai luhur budaya kasumedangan, menjadi ciri khas batik yang dihasilkan oleh para pengrajin batik Sumedang. Disebut Batik kasumedangan karena batik Sumedang semata-mata khas kreasi baru yang berbasis budaya lokal yang membedakan batik Sumedang dengan batik-batik lainnya seperti batik Jawa, batik Cirebon, Pekalongan dan lain-lain. 

Memang terlihat ciri khas batik Sumedang dalam sisi motif dan bentuk ornamen maupun simbol-simbol yang sangat asli bersumber dari nilai-nilai luhur budaya kasumedangan. Yakni seni batik dalam kreasi baru yang terinspirasi dari tradisi kerifan lokal, yang kelak akan membedakan batik Sumedang dengan batik dari daerah lain. 

Ciri khas seni batik Sumedang tercermin dari beberapa corak atau motif yang dilukiskan pada ornamen kreasi batik jenis tulis dan batik cetakannya. Disini jelas terlihat ornamen keraton Srimanganti, kuda renggong, Mahkota Binokasih, Prabu Tajimalela, kereta Nagapaksi, Monumen Lingga, Daun Hanjuang, Kembang Boled, Teratai, Kujang, Wijayakusumah, sampai tradisi memanah, dan banyak lagi. Bahan kain batik Sumedang menggunakan berbagai jenis kain, termasuk bahan sutera, organdi, saher dan katun.

Seni batik Sumedang juga didesain untuk keperluan rumahtangga seperti kain gorden dan taplak meja, selain untuk keperluan busana. Begitu populernya batik hingga menginspirasi para pelaku industri kreatif menyelaraskannya dengan beragam media. Batik kini bukan hanya bisa ditemui dalam media kain sebagai pelengkap fashion dan peralatan rumah, tetapi juga mulai digunakan dalam media kayu, kaca, sampai keramik.

Latar belakang sejarah perkembangan batik di Sumedang hingga sekarang belum diketahui karena belum ditemukan bukti bukti keberadaan bekas-bekas tempat pembuatan batik. Saat ini yang baru diperoleh informasi sejarah bahwa, orang-orang di Sumedang dilarang menggunakan batik dari Cirebon (baca: Jawa) pada zaman Kerajaan Sumedang Larang pada masa pemerintahan Prabu Geusan Ulun (1580-1608).

Menurut cerita, yang melarang menggunakan batik dari daerah luar ke Sumedang adalah salah seorang senapati (panglima) atau senapati raja yaitu Senapati Jayaperkasa. Larangan itu baru ditegaskan setelah terjadi pertikaian antara Kerajaan Sumedang Larang dengan Kerajaan Cirebon. Panglima Jayaperkasa dengan tegas melarang penggunaan batik Cirebon bagi siapa saja warga Sumedang, terutama bagi rakyat kerajaan yang ingin datang ke ibukota Kerajaan di Dayeuhluhur, Sumedang. 

Larangan ini ditafsirkan semacam embargo untuk melarang secara ekonomi dan politis terhadap semua produk-produk batik Cirebon. Bahkan juga melarang tumbuhnya industri batik pada masa itu di Sumedang. Terlebih lagi ketika itu industri batik memang sudah berkembang pesat dan sangat terkenal di Cirebon. Selain itu diperkirakan juga larangan ini merupakan sikap “nasionalisme” yang kuat dari senapati Kerajaan Sumedang Larang itu. Embargo atau larangan dan sikap anti batik Cirebon pada masa itu, diperkuat lagi dengan ucapan melalui sumpah senapati agar tidak ada warga Sumedang yang memakai batik Cirebon. 

Sikap antipati ini kemudian terus meruncing sehingga, apapun yang berasal dari Cirebon harus dilarang, tidak lagi soal batik sebab batik pada masa itu identik dengan Cirebon. Sumpah anti kain batik Cirebon yang disampaikan oleh panglima legendaris dan berpengaruh di Sumedang Larang pada masa itu, tentu tidak ada hubungan langsung dengan ketiadaan informasi mengenai latar sejarah industri batik di Sumedang. 

Namun yang jelas pada awal abad ke-21 ini mulai tumbuh usaha batik di Sumedang dalam kreasi seni batik Sumedang yang sangat khas. Batik Sumedang diciptakan tidak hanya sekedar mengikuti atau meniru seni batik yang ada di daerah lain, tapi lebih sebagai bentuk rekayasa baru dari suatu proses transformasi sejarah budaya dalam bentuk rekayasa seni rupa. Seni Batik Sumedang adalah warisan budaya Tatar Sunda masa lalu.

Sumber: Sumedang Heritage

Komentar

wave

Belum ada komentar.

Tinggalkan Komentar

wave

Cari Artikel