Hei, Baling-baling Bambu! Kolecer Permainan di Sunda yang Masih Eksis

Hei, baling-baling bambu! Begitu ucap Doraemon yang sudah kita kenal dari dulu. Tidak hanya Doraemon dong yang punya baling-baling bambu, di masyarakat Sunda biasa menyebutnya "kolecer". Apakah di daerah wargi Sumedang masih banyak yang membuat dan dipasang?

Kolecer atau baling bambu merupakan mainan populer di masyarakat Sunda. Mainan ini dimainkan bukan hanya oleh anak-anak tetapi juga oleh remaja sampai masa dewasa. Baling-baling yang terbuat dari kayu/bambu dengan dililit daun pisang kering.

Dalam budaya tradisi Sunda merupakan tradisi tahunan saat musim kemarau biasanya, dikarenakan pada musim kemarau angin bertiup kencang. Kolecer dipasang untuk menantang arah datangnya angin sehingga mengeluarkan suara keras. Fungsinya untuk mengusir hama/hewan penggangu padi di persawahan biasanya. Wah makin tahu Indonesia.

Adapun yang terpasang di lahan perkebunan kencangnya hembusan angin membuat putaran kincir raksasa yang disebut dengan kolecer makin cepat. Kencangnya putaran baling-baling itu menimbulkan suara.

Para penduduk yang kerja di luar wilayah biasanya pada saat musim angin pulang dahulu untuk memasang kolecer. Unsur rekreasi yang didapat dari kolecer adalah suara yang dihasilkan dari gerak kolecer tersebut.

Dalam istilah sunda "nyeguk" tekanan angin yang kuat memutarkan kolecer tersebut sampai melengkung ke belakang dan ketika angin melemah gerakan kolecer kembali tersentak ke depan dan berbunyi "wuuk" suara yang dihasilkan itu yang menjadi kebanggaan pemiliknya.

Semakin keras suara yang dihasilkan semakin bagus kualitas dari kolecer tersebut. Kesukaan masyarakat terhadap kolecer juga menyebabkan permainan ini mempunyai tahapan untuk mencapai sebuah kolecer yang sempurna di mulai dari masa anak-anak dengan berbagai tahapan pembelajaran membuat dan memainkan kolecer tersebut.

Pada proses bermain kolecer, seorang anak melalui proses tahapan pembelajaran yaitu dari mulai kolecer palang dua, berupa daun kelapa yang dilepas lidinya, daun yang berbentuk memanjang dijadikan kolecer dengan cara memotong menjadi pendek dengan panjang 10-12 cm.

Pada tengahnya ditimbang dengan cara memakai jari telunjuk mencari titik keseimbanganya, dan letak jari telunjuk pada saat terjadi keseimbangan itu yang akan menjadi tengah dari kolecer tersebut. Di tengahnya dipasang pelepah singkong yang dilubangi, dengan cara membersihkan bagian dalamnya, lalu dipasangkan tepat pada titik tengahnya.

Lidi dari sisa kolecer tersebut dipakai sebagai gagang putaran dan dipakai pembatas dari pelepah singkong lagi. Pada tahapan selanjutnya yaitu malincang kolecer yaitu memelintirkan daun kolecer tersebut yang bagian kanan diputar ke kanan bawah dan yang bagian kiri diputar ke kiri atas.

Bentukan tersebut yang menahan angin dan menjadi kolecer itu berputar. Untuk kolecer palang empat, ada tiga macam bentuk kolecer yang pertama mirip dengan palang dua tetapi pada bagian kanan dan kiri antara bolong tengah daun tersebut disobek sejajar, dan dimasukan satu palang lagi.

Proses selanjutnya sama malincang dan memakai gagang. Bentuk lainnya pada kolecer palang dua yaitu dengan menganyam bagian tengah dari kolecer dan pada tengah kolecer menjadi ada bentuk kotak.

Bilah lebih panjang dan dilipat menjadi dua, dari dua tersebut menjadi palang kolecer tersebut sehingga menjadi palang empat. Pada pertengahan lipatan empat tersebut membentuk lubang sehingga tinggal memasukan lidi untuk gagang.

Bentuk lainnya hampir mirip dengan bentuk pertama, hanya gagangnya memakai lidi utuh yang pada ujungnya disisakan potongan daunnya sebagai penahan kolecer.

Untuk memasang Kolecer pun sampai memanjat batang bambu yang menjadi tiang. Dengan bertelanjang kaki, para lelaki biasanya dengan bergantian memanjat tiang yang telah disiapkan. Bahkan ada beberapa di antara mereka diam di tas tiang untuk menikmati angin sambil mendengarkan riuhnya suara yang dihasilkan dari dekat.

Selain wujud bersyukur, kolecer pun dimaknai sebagai simbol kehidupan. Perputaran kolecer pun selayaknya rotasi kehidupan manusia yang bergerak, kadang cepat dan adakalanya pun melambat.

Maka, saat musim penghujan, ketika embusan angin gunung deras mengalir ke pedesaan mereka, warga setempat pun menyambutnya. Sambutan dengan kolecer dengan tawa bahagia, suka cita, dan rasa syukur bersama-sama atas anugerah semesta raya.

Komentar

wave
  • John Doe

    Dante

    Sep 23, 2023 08:18

    You actually make it seem really easy along with your presentation but I find this topic to be actually one thing that I believe I'd never understand. It sort of feels too complicated and extremely huge for me. I am having a look forward on your sub

Tinggalkan Komentar

wave

Cari Artikel

<<<<<<< HEAD ======= >>>>>>> 22907a91d5212753ed2de3bbf69bb3b53a692828