Kegiatan tersebut masyarakat menyebutnya sebagai gelar tolak bala agar penduduk desa dijauhkan dari segala marabahaya baik dari bahaya alam, bahaya manusia dan gangguan mahluk halus. Hajat Lembur biasanya dilaksanakan pada bulan Muharam, alat dan bahan untuk hajat lembur tersebut banyak yang disajikan dari hasil pertanian, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan yang semuanya mengandung makna dan arti atau filsofi masing-masing di tatar sunda disebut dengan Silib, Sindir, Simbul, suluk/siloka dan sasmita. Termasuk silib adalah semua bahan upacara hajat lembur sedangkan simbul terdapat pada sawen dan yang disebut dengan siloka adalah benda yang mengandung filosofi seperti pada kelapa, tebu, rumput palias, bambu kuning karena konon bambu kuning sebagai penangkal dari serangan-serangan yang tidak terlihat oleh kasat mata atau gaib seperti santet, pelet atau guna-guna lainnya. Sedangkan sasmita berbentuk rasa kegembiraan yang digambarkan dengan berkumpulnya warga, tetangga pada kegiatan itu ke lima istilah ini disebut juga sebagai Pancacuriga. Kalau melihat dari semua ini apa yang tersajikan pada hajat lembur adalah sebuah Literasi nan luhur nenek moyang kita begitu apik, cerdas dan kreatifnya menyimpan petuah yang disimpan pada aneka flora seperti pada daun hanjuang yang diartikan dalam bahasa sunda “Sapanjang ngahanju kudu boga kahayang” jadi sepanjang hidup harus mempunyai harapan atau cita-cita, begitu juga yang terdapat dalam daun bambu (daun awi bs.sunda) yang dipakai membungkus nasi berbentuk segitiga disebutnya tantang angin itu mempunyai arti bahwa kita harus mengingat pada asal mula diri kita.
Hal ini tentu sangatlah perlu digali kembali sejarahnya oleh para pegiat literasi agar para generasi jaman sekarang tidak salah persepsi dalam mengartikan sesuatu yang belum mereka pahami apalagi selalu dikaitkan dengan agama yang jelas ini adalah sebuah budaya dimana penerapan akhlak dan adab melalui media ciptaannya.
Rohman Gumilar
Belum ada komentar.