Kegiatan Ngalokat di Desa Kadakajaya dan Nilai Filosofinya

Hajat lembur merupakan tradisi buhun terus dilaksanakan setiap bulan Muharam, di beberapa daerah masih terbiasa melaksanakan ritual ini, jadi hajat lembur bukan sekedar ciri khas daerah namun sebagai warisan budaya nenek moyang yang mempunyai nilai-nilai filosofis sangat luar biasa dan masih banyak yang belum diterjemahkan kepada generasi sekarang salahsatu penyebanya adalah para sesepuh kampung atau penuturnya sudah tidak ada dan tentunya para penerusnya masih terus mempertahakan tradisi ini agar warisan budaya leluhur tidak punah begitu saja karena tradisi ini harus terus diperkenalkan pada generasi penerus.

Namun beda lagi perspektif dari generasi  sekarang, tradisi ritual hajat lembur atau ngalokat lembur dan yang lainnya akan dianggap sebuah mistik bahkan jauh menyebutnya adalah sebuah kegiatan bid’ah tanpa mau mendalami sejarah dan nilai-nilai filosfinya namun tidak jarang juga hal ini menjadi bahan penelitian bagi mahasiswa luar negeri karena tradisi ini dianggap unik dan menyimpan keliterasian yang perlu penerjemah khusus.

Seperti yang dilakukan di Desa Kadakajaya pada hari Kamis, 27 Juli 2023 yang setiap tahunnya dilaksanakan hajat lembur atau ngalokat. Tujuan utama dari kegiatan hajat lembur ini adalah sebagai bentuk syukur kepada sang pencipta atas nikmat yang diberikan kepada umat manusia khusunya yang tinggal di pedesaan kerena pekerjaan utamanya sebagai petani.

Kegiatan tersebut masyarakat menyebutnya sebagai gelar tolak bala agar penduduk desa dijauhkan dari segala marabahaya baik dari  bahaya alam, bahaya manusia dan gangguan mahluk halus.

Hajat Lembur biasanya dilaksanakan pada bulan Muharam, alat dan bahan untuk hajat lembur tersebut banyak yang disajikan dari hasil pertanian, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan yang semuanya mengandung makna dan arti atau filsofi masing-masing  di tatar sunda disebut dengan Silib, Sindir, Simbul, suluk/siloka dan sasmita. 

Termasuk silib adalah semua bahan upacara hajat lembur sedangkan simbul terdapat pada sawen dan yang disebut dengan siloka adalah benda yang mengandung filosofi seperti pada kelapa, tebu, rumput palias, bambu kuning karena konon bambu kuning sebagai penangkal dari serangan-serangan yang tidak terlihat oleh kasat mata atau gaib seperti santet, pelet atau guna-guna lainnya. Sedangkan sasmita berbentuk rasa kegembiraan yang digambarkan dengan berkumpulnya warga, tetangga pada kegiatan itu ke lima istilah ini disebut juga sebagai Pancacuriga.

Kalau melihat dari semua ini apa yang tersajikan pada hajat lembur adalah sebuah Literasi nan luhur nenek moyang kita begitu apik, cerdas dan kreatifnya menyimpan petuah yang disimpan pada aneka flora seperti pada daun hanjuang yang diartikan dalam bahasa sunda “Sapanjang ngahanju kudu boga kahayang” jadi sepanjang hidup harus mempunyai harapan atau cita-cita, begitu juga yang terdapat dalam daun bambu (daun awi bs.sunda) yang dipakai membungkus nasi berbentuk segitiga disebutnya tantang angin itu mempunyai arti bahwa kita harus mengingat pada asal mula diri kita.

Hal ini tentu sangatlah perlu digali kembali sejarahnya oleh para pegiat literasi agar para generasi jaman sekarang tidak salah persepsi dalam mengartikan sesuatu yang belum mereka pahami apalagi selalu dikaitkan dengan agama yang jelas ini adalah sebuah budaya dimana penerapan akhlak dan adab melalui media ciptaannya.


Rohman Gumilar

Komentar

wave

Belum ada komentar.

Tinggalkan Komentar

wave

Cari Artikel