Selain itu, pencatatan nama pada dokumen kependudukan perlu diatur sebagai pedoman bagi penduduk dan pejabat yang berwenang melakukan pencatatan untuk memudahkan pelayanan publik. Tujuan aturan ini dibuat untuk sebagai pedoman pencatatan nama, pedoman dalam penulisan nama pada dokumen kependudukan, meningkatkan kepastian hukum pada dokumen kependudukan. "Sekalgus memudahkan dalam pelayanan administrasi kependudukan, perlindungan hukum, pemenuhan hak konstitusional dan mewujudkan tertib administrasi kependudukan," urai Zudan. Dikutip dari laman kemendagri. Pencatatan nama pada dokumen kependudukan dilakukan sesuai prinsip norma agama, norma kesopanan, norma kesusilaan, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Antara lain syaratnya mudah dibaca, tidak bermakna negatif, dan tidak multitafsir, jumlah huruf paling banyak 60 huruf termasuk spasi dan jumlah kata paling sedikit dua kata. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan anak dalam pelayanan publik lainnya. Contohnya saat pendaftaran sekolah, ketika si anak diminta guru menyebutkan namanya, dalam pembuatan ijazah, paspor dan lain sebagainya.
"Jika ada nama orang hanya satu kata, disarankan untuk minimal dua kata. Namun jika pemohon bersikeras untuk satu kata, boleh. Hal ini hanya bersifat imbauan dan namanya tetap bisa dituliskan dalam dokumen kependudukan," Zudan menjelaskan. Alasan minimal dua kata adalah lebih dini dan lebih awal memikirkan, mengedepankan masa depan anak. Contoh ketika anak mau sekolah atau mau ke luar negeri untuk membuat paspor minimal harus dua suku kata, nama harus selaras dengan pelayanan publik lainnya. Tata cara pencatatan nama pada dokumen kependudukan meliputi, menggunakan huruf latin sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia, nama marga, famili atau yang disebut dengan nama lain dapat dicantumkan pada Dokumen Kependudukan, dan gelar pendidikan, adat dan keagamaan dapat dicantumkan pada kartu keluarga dan KTP-el yang penulisannya dapat disingkat.
Belum ada komentar.