Kartini, sosok perempuan subversif Kartini adalah sosok pejuang hak-hak perempuan. Ia terkenal melalui kumpulan-kumpulan surat yang ditujukan kepada sahabat penanya yang menguraikan pemikiran tentang berbagai masalah yang dihadapi perempuan di Jawa. Contohnya yaitu pentingnya pendidikan untuk anak perempuan; tradisi feodal yang menjerat perempuan, pernikahan paksa dan poligami, dan sebagainya. Setelah Kartini wafat, surat-suratnya tersebut kemudian dikumpulkan dan diterbitkan menjadi sebuah buku berbahasa Belanda berjudul Door Duisternis tot Licht atau Habis Gelap Terbitlah Terang. Penggalan tulisan Kartini
“Kami manusia, seperti halnya orang laki-laki. Aduh, berilah izin untuk membuktikannya. Lepaskan belenggu saya! Izinkan saya berbuat dan saya akan menunjukkan, bahwa saya manusia. Manusia seperti laki-laki." “Gadis yang pikirannya sudah dicerdaskan, pemandangannya sudah diperluas, tidak akan sanggup lagi hidup di dalam dunia nenek moyangnya.” “Banyak hal yang bisa menjatuhkanmu. Tapi satu-satunya hal yang benar-benar dapat menjatuhkanmu adalah sikapmu sendiri.” “…telah hidup di dalam hati sanubari saya satu keinginan yang kian lama kian kuat, ialah keinginan akan bebas, merdeka, berdiri sendiri." Hari Kartini BUKAN tentang kebaya. Apa yang kamu ingat tentang Hari Kartini? Mungkin, sebagian besar dari kita bernostalgia dengan festival kebaya serta berbagai rangkaian perlombaan yang kita lakukan ketika masih kecil dulu. Mungkin, peringatan seperti itu bertujuan baik yakni untuk mengingat sosok Kartini, namun, sangat disayangkannya, hal tersebut justru membuat pemaknaan sosok Kartini dan Hari Kartini itu sendiri menjadi kabur. Citra perempuan yang salah Pandangan dan beragam gugatan yang lontarkan Kartini melalui tulisannya, menggambarkan betapa progresifnya Kartini. Namun, peringatan Hari Kartini yang awalnya ditujukan untuk memperingati ide-ide perlawanan, kini justru dimaknai sebaliknya. Peringatan Hari Kartini yang kita lakukan sejak kecil, justru malah peragaan busana kebaya, lomba merias diri, lomba merangkai bunga, lomba masak, dan sejenisnya yang justru melanggengkan domestikasi dan pelemahan terhadap perempuan. Melalui peringatan semacam itu, citra perempuan menjadi salah. Perempuan ideal seringkali digambarkan sebagai sosok berkebaya yang harus anggun; lembut; tidak banyak bicara dengan kepala menunduk dan kaki yang ditutup rapat; tidak boleh melawan dan memperjuangkan keinginannya; serta dianggap wajib bahkan hanya boleh berperan di ranah domestik (urusan rumah). Kita jangan mau dibodohi Salah kaprah tentang pemaknaan Hari Kartini sebenarnya ada sejarahnya. Awal mula Hari Kartini menjadi ajang kecantikan dipelopori oleh pemerintahan Orde Baru. Di masa ini, nasib gerakan perempuan berada di tangan penguasa. Saat itu, ‘emansipasi’ justru menjadi kedok untuk menguatkan doktrin tentang domestikasi peran perempuan sebagai istri dan ibu. Pada Orde Baru, Soeharto secara sistematis melenyapkan gerakan perempuan dan menjauhkan perempuan dari politik, dengan mengkampanyekan politik bahwa perempuan adalah sesuatu yang kotor dan berupaya mengembalikan perempuan ke ‘dapur’. Awalnya, gerakan pembasmian ini dilakukan dengan meniadakan anggota PKI, Gerwani, dan seluruh hal yang dianggap terkait dengan G30S. Lalu pemerintah saat itu mendirikan berbagai organisasi perempuan, contohnya Dharma Wanita, Dharma Pertiwi, atau organisasi serupa sebagai wadah bagi para istri pegawai negeri dan pejabat pemerintahan. Apakah hal itu untuk kepentingan perempuan? Oh tidak, justru hal itu seakan menanamkan paham bahwa perempuan adalah peran perempuan adalah sebagai pendamping suaminya, perempuan berharga karena posisi penting pentingnya suaminya, bukan karena peran atau prestasinya sendiri. Jadi apakah kita akan diam saja? Lalu, sudah adakah ‘Kartini’ di dalam diri kita? Sumber: Bunga Dessri - tintadanwarna
Belum ada komentar.