Mengenal Tritangtu Pada Tradisi Masyarakat Petani di Tanah Sunda

Tentunya wargi Sumedang pernah mendengar tentang Tritangtu dong? Baik, kali ini mimin akan membahas tentang Tritangtu, dan sepertinya akan menjadi beberapa part yah, tentang Tritangtu ini. Filosofi tritangtu Sunda merupakan pewarisan masyarakat suku Sunda di masa lalu, yang tinggal di daerah pegunungan dengan kehidupan primordial kaum peladang. Sistem berladang seiring perubahan zaman kemudian bergeser masuk pada masa pertanian sawah. Kegiatan bersawah dipahami sebagai hasil pewarisan produk lokal, dari tata cara kegiatan masyarakat kaum peladang yang hidup di pegunungan dalam tatanan pola tiga.

Kehidupan pola tiga semula merupakan perspektif tiga dunia kaum peladang yang antagonistik saling bertentangan. Secara kosmologi mereka mengenal tiga pembagian dunia yaitu; Buana Nyungcung (atas, langit), Buana Larang (bawah, tanah), dan Buana Panca tengah (tengah, manusia). Sehingga untuk terjalinnya daya kehidupan yang harmonis perlu adanya penyatuan antara dua dunia yang paradoks (bertentangan) itu. 

Penyatuan tersebut yaitu perkawinan Buana Nyungcung dengan Buana Larang, dan Buana Pancatengah-lah yang menyatukannya. Dengan tindakan seperti ini akan terbentuk proses kesuburan, pertumbuhan dan kehidupan di muka bumi.

Tanaman padi dapat terus hidup kalau ada “perkawinan” antara Langit dan Bumi. Langit mencurahkan hujannya kepada tanah yang kering. Dengan demikian langit itu “basah” dan bumi “kering”. Langit disebut basah mengandung makna realitas “air”, dan Bumi disebut kering mengandung makna realitas “tanah”.

Perspektif tiga dunia dalam penyatuan masyarakat peladang ketika bergeser ke sistim bersawah tetap terpelihara dan jadi pedoman arah hidup yang disebut Tritangtu Sunda. Tritangtu adalah cara berpikir masyarakat tradisional Sunda. Tritangtu berasal dari bahasa Sunda, di mana kata tri atau tilu artinya tiga dan tangtu artinya pasti atau tentu.

Tritangtu itu artinya tiga ketentuan yang pasti. Masyarakat tradisional Sunda memaknai tritangtu sebagai falsafah hidup. Budaya sawah di tanah Sunda termasuk di Kabupaten Sumedang, memiliki makna yang makro tidak saja terbatas pada kegiatan pola bercocok tanam. Budaya sawah mencakup kegiatan kesenian kaum petani, serta kegiatan relijius mereka yang tumbuh untuk mengagungkan dewi kehidupan. 

Sawah dimaknai sebagai lahan untuk mengelola dan memelihara pertanian sebagai sumber kehidupan. Sawah tatanannya terdiri dari beberapa unsur alami, yakni unsur tanah, unsur air, unsur angin dan unsur api. Unsur-unsur tersebut seperti halnya unsur-unsur jasmaniah yang menyelubungi hidup manusia, di samping unsur rohani. Empat unsur tersebut menyimbolkan badan manusia yang terdiri dari empat zat dalam bahasa Arab yakni adanya narun (unsur api ), hawa’aun (unsur angin), turobun (unsur tanah), dan ma’un (unsur air).

Mengelola sawah analog dengan pendayagunaan ke empat unsur hidup tersebut, yang dilanjutkan pada proses pembibitan, penanaman benih padi serta pemotongan padi besar ketika datang musim panen. Pengelolaan sawah hakikatnya sebagai pelaksanaan proses perkawinan atau penyatuan antara Langit dan Bumi yang paradoks (bertentangan).

Perkawinan itu menyatu dengan ruang gerak manusia di muka bumi menjadi daya kehidupan. Di tanah Sunda, masyarakat melihat langit itu simbol dari air, basah (simbol perempuan, kesuburan), dan bumi itu kering (simbol laki-laki, tanah). Sehingga untuk terjadinya kesuburan di mana tanaman padi bisa tumbuh, keberadaan langit dan bumi itu harus dikawinkan guna mencapai harmonisasi. 

Tritangtunya itu yakni kesatuan antara langit dan bumi, yang membentuk kehidupan, itulah harmonis hurip dalam Dunia Panca Tengah (realitas manusia). Dengan demikian, keadaan dan realitas alam lingkungan disekitarnya masrakat ladang itu kemudian membentuk cara pandang pikirannya. Cara berpikir dalam kepercayaan masyarakat ladang, bahwa suatu keberadaan hidup itu awalnya bersifat dualistik. Semua hal yang dualistik tersebut saling bertentangan satu sama lain, saling beroposisi. 

Oleh karena saling bertentangan, kemungkinan konflik yang berujung kemusnahan bisa terjadi. Sehingga untuk itu, diperlukan medium yang mengharmonisasikan keduanya. Harmoni itu merupakan integrasi antara dua alamat dualistik, sehingga memunculkan “alamat yang ketiga”. Dengan demikian, pemikiran dualistik menjelma menjadi pemikiran tritunggal.

Nanti akan mimin sambung lagi yah wargi Sumedang.

Komentar

wave
  • John Doe

    Novella

    Sep 24, 2023 14:01

    Very nice post. I just ѕtumblеd upon your blog and wіshed to say that I've really enjoyed browsing your blog posts. After all I'ⅼⅼ be subscribing to your feed and I hօpe you write again very soߋn!

Tinggalkan Komentar

wave

Cari Artikel

<<<<<<< HEAD ======= >>>>>>> 22907a91d5212753ed2de3bbf69bb3b53a692828