Penyebaran Islam di Sumedang Melalui Pendekatan Seni dan Budaya

Masing-masing area semacam desa-desa “perdikan” di sekitar kabupaten Sumedang telah menjadi bukti hingga saat ini sebagai tempat sangat subur bagi tumbuhnya sejumlah tradisi Islam-Sunda yang beraviliasi dengan pola-pola kemataraman dan kesundaan. Hal ini terlihat pada berbagai warisan artefaktual kebudayaan yang ditunjang sejumlah tradisi lisan baik “mitos’ maupun “legenda” yang selalu dikaitkan antara “animism-Sunda” mau pun “Islam Mataram” yang pengaruhnya terus terjaga secara turun temurun hingga hari ini.

Perubahan pola Islamisasi di Sumedang/periodisasinya mungkin mengikuti Islamisasi pulau Jawa secara umum, diduga meliputi: tahap awal abad ke 10-13 masuknya Islam di Tatar Sunda secara umum, di Sumedang sendiri Islam mulai menyebar pada tahun 1529, penyebarnya adalah Maulana Muhammad/Raden Kusen/ lebih dikenal dengan nama Pangeran Palakaran. Pangeran Palakaran adalah putra Aria Damar seorang wali pemerintahan Majapahit, juga sultan Palembang ketika Palembang dibawah kekuasaan Majapahit.

Namun setelah Majapahit runtuh pangeran Palakaran yang semula beragama Hindu masuk agama Islam, kemudian beliau berguru kepada Sunan Gunung Jati di Cirebon dan menjadi ulama serta menikah dengan Mertasari putri Sunan Gunung Jati dari Pernikahan tersebut lahir Pangeran Santri yang kemudian menikah dengan pemimpin kerajaan Sumedang Larang yaitu Ratu Pucuk Umun.

Pangeran Santri menggantikan Ratu Pucuk Umun sebagai penguasa Sumedang, dengan gelar Pangeran Kusumadinata. Dalam kapasitas sebagai penguasa Sumedanglarang, Pangeran Santri tetap melanjutkan tugas ayahnya, Maulana Muhammad atau Pangeran Palakaran, menyebarkan agama Islam di Sumedanglarang.

Dalam penyebaran agama Islam, Pangeran santri mengenalkan seni Gembyung sebagai media penyiaran. Pada tahun 1551, Pangeran Santri bersama para santrinya datang ke Sumedang dengan membawa waditra seni gembyung sebagai mediasi yang efektif dalam menyiarkan ajaran Islam. Dalam menyebarkan agama Islam pangeran Santri menyiarkan di daerah Cisarua, Ganeas, dan sekitarnya. Sedangkan Wangsa Syahrudin (eyang suci) menyebarkan agama Islam di daerah Tanjungkerta dan sekitarnya.

Tahap kedua pada abad 16 penyebaran secara masif hingga berdiri Kerajaan Prabu Geusan Ulun, tahap abad ke-19 masa pemerintahan pangeran Sugih (1836- 1882) ditandai dengan banyaknya artefak Islam seperti Pesantren Asyrafuddin di Cikule, Masjid Agung Sumedang dan adanya naskah Al-Quran yang disalin tahun 1856 salinan Moh. Arwan yang diduga sebagai ulama Tatar Sunda yang juga bertugas pada Kabupaten Sumedang Larang.

Bukti nyata dari kuatnya pewarisan budaya Islam Sumedang juga tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun dalam bentuk benda-benda budaya. Beberapa bangungan dan tipologi arsitektur serta isi dan peranan lingkungan di daerah kabupaten tempo dulu yang bisa dilihat sekarang, meunjukkan pola-pola perpaduan kebudayaan yang sangat sinergis. Joglo Tumpang (Jawa) dan Julang Ngampak (Sunda), memberi ciri identitas masing-masing kebudayaan.

Halaman Selanjutnya

Komentar

wave

Belum ada komentar.

Tinggalkan Komentar

wave

Cari Artikel

<<<<<<< HEAD ======= >>>>>>> 22907a91d5212753ed2de3bbf69bb3b53a692828