Tandjoengsari 885 Jejak Stasiun Kereta Api di Sumedang

Author inimahsumedang • Kilas Balik • March 13, 2022

Tandjoengsari 885 tampak samar tertulis pada papan yang menempel di tembok  bangunan di Jalan Staat Spoors, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Sumedang. Bangunan itu kini dinamai Gedung Juang 45 Tanjungsari. 

Gedung tersebut merupakan bekas stasiun kereta api pada masa pendudukan Belanda di akhir abad 19. Stasiun Tandjoengsari terletak tidak jauh dari Alun-alun Tanjungsari di ketinggian +855 meter. Stasiun Tanjungsari, dulunya merupakan bagian dari proyek jalur perlintasan kereta api Belanda yang menghubungkan wilayah Rancaekek, Jatinangor, Tanjungsari, Citali, Sumedang bahkan sempat direncanakan hingga Kadipaten.

Papan yang menempel bertuliskan Tandjoengsari 885. Foto: Kega

Kereta yang melintas ke Tanjungsari dulu diperuntukan untuk membawa hasil bumi dari wilayah Tanjungsari, Jatinangor menuju Rancaekek, seperti di ketahui Jatinangor dulunya merupakan Area hijau dengan bukti peninggalan menara Loji, menara pengingat waktu para pekerja perkebunan

Dalam buku Indische Spoorweg Politiek atau Politik Perkeretaapian Hindia (S.A Reitsma,1925), bahwa jalur Rancaekek, Jatinangor, Tanjungsari, Citali hingga ke Sumedang merupakan jalur yang dibangun untuk memperkuat pertahanan Belanda di pulau Jawa. 

Pada tahun 1917/1918, Jalur Rancaekek hingga Jatinangor sudah dioperasikan. Sementara untuk jalur Jatinangor hingga Citali hampir selesai pengerjaannya. Jalur kereta api yang direncanakan sampai hingga Sumedang nyata mengalami kendala, jalur dari Citali ke Sumedang memiliki medan yang cukup menantang seperti banyaknya jurang dan pegunungan. Ditambah lagi, Pemerintah Hindia Belanda kala itu sedang mengalami krisis keuangan. 

Dalam membangun jalur Citali-Sumedang, sedikitnya diperlukan anggaran sebesar 4,5 juta gulden. Anggaran itu, belum termasuk anggaran persiapannya sebesar  500 ribu gulden. Jika jalur Sumedang selesai dibangun maka akan dilanjutkan untuk pembukaan jalur Sumedang – Kadipaten, Majalengka. Lalu, jalur penghubung antara Bandung dan Cirebon.

Viaduk Tanjungsari. Foto: Kega

Jalur Citali hingga Sumedang batal dibangun, lantaran faktor keuangan, juga akibat keburu masuknya era penjajahan Jepang di Indonesia. Jalur kereta api tersebut akhirnya di non aktifkan sekitar tahun 1942 dan rel nya dibawa oleh penjajah Jepang untuk membuat jalur Kereta Api Saketi- Bayah yang ada di provinsi Banten, Karena Penjajah Jepang menganggap kali Sumedang tidak terlalu penting.

Jika berbicara perkeretaapian di Sumedang maka tidak akan lepas dari Jembatan Cincin di kawasan Jatinangor, disebutkannya bahwa jembatan Cincin merupakan bagian dari rencana pembangunan jalur kereta api dari Rancaekek hingga ke Sumedang. 

Rencana jalur kereta api hingga sampai ke Sumedang itu batal dibangun akibat adanya krisis keuangan di Pemerintahan Hindia-Belanda. Pembangunan jalur ke Tanjungsari, sebenarnya diniatkan hingga Sumedang tetapi karena terkendala keuangan jadinya berhenti di Tanjungsari.

Jalur kereta api Rancaekek-Sumedang dan jalur kereta api Bandung-Ciwidey merupakan jalur kereta api yang sudah direncanakan sejak lama pada masa itu.

Sejak akhir abad ke-19 sudah banyak pihak swasta yang mengajukan konsesinya tetapi selalu ditolak pemerintah (Hindia-Belanda),  jalur kereta api Rancaekek-Sumedang dibangun dengan tujuan untuk kepentingan ekonomi dan militer Pemerintah Hindia-Belanda.

Hingga akhirnya jalurnya dinonaktifkan pada tahun 1942 karena dibongkar oleh pekerja romusa Jepang. Walaupun demikian sebagian dari jejak-jejak jalur tersebut masih ada, seperti Jembatan Cincin Cikuda, Viaduk Jatinangor, dan Stasiun Tanjungsari. 

Stasiun yang tersisa hanyalah Stasiun Tanjungsari yang kini diubah menjadi kantor sekretariat Persatuan Purnawirawan ABRI Tanjungsari, tercata total ada 5 setasiun diantara Rancaekek Hingga Tanjungsari dan beberapanya merupakan setasiun kecil. Tercatat 3 setasiun kecil yaitu Bojongloa, Citeles, Cikeruh dan dua setasiun besar adalah Rancaekek dan Tanjungsari.