Komplek Petilasan Embah Jaya Perkasa dan Larangannya

Membicarakan Dayeuh Luhur, tempat wisata religi di Sumedang, banyak sekali beberapa makam dan petilasan cagar budaya di sana. Salah satunya petilasan Embah Jaya Perkasa atau Sanghyang Hawu adalah salah satu Patih Kerajaan Sumedang Larang saat diperintah Raden Angka Wijaya atau lebih dikenal sebagai Prabu Geusan Ulun.
Embah Jaya Perkasa merupakan salah seorang dari empat utusan Kerajaan Padjajaran (Kandaga Lante) yang menyerahkan Mahkota Binokasih dan pusaka Kerajaan Padjajaran kepada Prabu Geusan Ulun sebagai Nalendra penerus kerajaan Sunda dan mewarisi daerah bekas wilayah Pajajaran.
Mungkin sebagaian wargi Sumedang ada yang sudah dan yang belum ke Dayeuh Luhur, lebih tepatnya ke petilasan Embah Jaya Perkasa. Ada puluhan anak tangga dari gerbang masuk komplek petilasan tersebut.

Di komplek petilasan Embah Jaya Perkasa, sebelum masuk lebih dalam lagi ada peringatan untuk pendatang atau peziarah. Ada tulisan PAKAIAN BATIK HANYA SAMPAI DI SINI.
Memakai baju batik bagi keturunan Embah Jaya Perkasa ternyata dilarang bagi keturunannya saat berziarah ke makamnya. Konon hal tersebut, terkait sumpah yang diucapkan Embah Jaya Perkasa saat ngahyang di gunung tersebut usai menghadap sang Raja Prabu Geusan Ulun.
Kejadian tersebut, akibat konfliknya Sumedang Larang dengan Cirebon pada masa itu. Dengan pemindahan pusat kerajaan dari Kutamaya ke Gunung Rengganis, Dayeuh Luhur sekarang.
Memasuki wilayah komplek petilasan, ada beberapa bangunan, seperti bangunan khusus para peziarah yang menginap di sana. Di tempat tersebut ada batu yang terkenal juga, yakni Batu jungjung atau Batu Dakon.

Menurut cerita, batu dakon (Batu Pamongkanan) itu mempunyai keistimewaan, konon katanya kalau kebetulan waktu diangkat terasa ringan. Maka yang dimaksud oleh yang mengangkat batu tersebut akan mudah tercapai dan begitu juga sebaliknya.
Peninggalan yang kedua dari Eyang Jaya Perkasa yakni berupa tongkat dengan tinggi 182 CM dan Madelin 27 Cm. Menurut cerita para sesepuh Dayeuh Luhur, batu yang berdiri tersebut, dulunya tidak menempel di tanah kurang lebih 30 Cm. Kemudian ditumpuk batu-batu kecil hingga kelihatan merapat dengan tanah.

Batu tersebut dipagar ini dimaksudkan supaya konsentrasi pada peziarah tidak terganggu dan keamanan batu tersebut. Batu yang beridiri tersebut menurut para ahli sejarah disebut batu Menhir.
Kembali lagi kepada larangan atau tabu untuk pengunjung pakai batik ke komplek petilasan merupakan suatu simbol, bahwa ke atas ke tempat tersebut jangan punya hati yang belang seperti batik. Siapa yang melanggar pantangan itu, akan kena bala artinya seperti itu sih, penjelasan dari juru kunci.
Karenanya, warga di sekitar Petilasan Mbah Jaya Perkasa atau yang berada di lereng gunung Rengganis paham betul dengan larangan memakai batik. Di mana pun tempatnya kita harus menghargai peraturan yang berlaku. Tetap jaga sopan santun.
Kasih tahu yah, jika ada literatur yang kurang, wargi bisa menambahkan di kolom komentar yah. Terima kasih.
Kategori
-
372
-
152
-
132
-
98
-
112