Larangan Menyebut Kata ‘Peda’ di Desa Citengah Harus Menyebut Bedog Mintul

Author inimahsumedang • Budaya • September 23, 2022

Wargi Sumedang, apakah sebelumnya pernah mendengar larangan menyebut kata PEDA yang diganti dengan kata BEDOG MINTUL?

Mitos adanya sebuah kata keramat yang pantang disebut di suatu daerah memang banyak dibicarakan oleh masyarakat. Bahkan hingga kini mitos ini masih berlaku di salah satu Desa di Kabupaten Sumedang.

Bahkan tak tanggung-tanggung, bagi yang berani melanggar kata tersebut, konon katanya akan diberikan ganjaran kontan, mulai dari didatangi sosok harimau, hingga mengalami kecelakaan bagi pelanggarnya. Kata yang dilarang itu adalah kata peda.

Ikan Peda adalah ikan yang sebelumnya telah direndam dengan garam, ikan asin peda ini umumnya menjadi konsumsi harian bagi hampir seluruh masyarakat. Apalagi kalau ikan pedanya dibakar terus jangan lupa sambal dan lalapannya, wah enak sekali tuh.

Tapi, untuk Wilayah Desa Citengah di Sumedang ini, kata Peda harus diganti menjadi kata ‘Bedog Mintul’ atau dalam bahasa Indonesia Golok yang tumpul. Wah, apa hubungannya sih, antara ikan peda dan golok tumpul apakah mungkin itu sebuah perumpamaan? Mari simak.

Dalam acara di Trans7, Iyul, warga Citengah menceriterakan, musibah yang terjadi akibat ada orang mengucapkan kata peda.

Di Citengah, kata yang tabu diucapkan itu adalah “peda” atau ikan asin.
Odi, yang dijadikan sesepuh Desa Citengah, larangan atau tabu mengatakan peda sudah berlangsung lama. Namun Odi tidak tahu persis.
 
Konon, kata Odi, dulu ada orang sakti yang melarang mengucapkan kata itu. Makam orang yang dianggap sakti itu ada di Desa Citengah. Dianggap sebagai makan keramat. Menurutnya, tidak ada yang tahu dan tidak boleh ada yang tahu, nama orang sakti itu.

Pada nisan makan orang sakti itu pun tak ada tulisan. Makamnya dibatasi jejeran batu batu berbentuk segi empat dan nisan di bagian kepala dan kaki. Makam berada di bawah pohon besar nan rindang.
 
Ada orang datang ke Citengah terus mengucapkan kata peda. Ketika pulang, kendaraannya tergelicir. Pernah juga ada sekelompok warga sedang membakar peda. Datang yang lainnya dan berkata: “Wah lagi bakar peda. Asyik,” kata Iyul menirukan orang itu. “Saat itu siang hari cuaca panas. Tiba tiba berubah dan turun hujan dengan derasnya beserta angin,” tutur Iyul.

Untuk menjawab mitos tersebut, dikutip dari cipakudarmaraja.blogspot.com di Desa Citengah sendiri, ada satu karuhun atau leluhur yang makam keramatnya terletak di Cibingbin. Warga sekitar menyebutnya dengan “Eyang Bingbin”, konon keberadaan makam ini, sangat erat kaitannya dengan Mitos larangan menyebutkan kata Peda. 

Menurut cerita rakyat yang ada eyang Bingbin adalah seorang tokoh yang mula-mula memimpin di Kampung Citengah pada jaman Kerajaan Sumedanglarang.  

Waktu itu kedatangan Prabu Siliwangi (Prabu Jaya Dewata) bersama isterinya Ratu Rajamantri putra Prabu Tirtakusuma (Sunan Tuakan) dari Sumedanglarang, oleh karena kedatangan seorang Raja Pajajaran yang sangat dihormati, maka segenap anggota keluarga dan para abdinya dikerahkan untuk menyuguhkan makanan. 

Namun karena lokasi dusun Citengah yang jauh dari pasar kerajaan Sumedanglarang pada waktu itu atau mungkin belum ada pasar seperti sekarang, maka disuguhkanlah makanan ala kadarnya yaitu nasi, ikan asin “Peda” dan lalapan.  

Prabu Siliwangi tentunya sangat menyukai ikan “Peda” yang disuguhkan tersebut, oleh karena pada waktu sebelum menjadi Raja Pajajaran, menurut Babad Cirebon Prabu Siliwangi pada masa mudanya dikenal dengan nama Pamanah Rasa, sejak kecil beliau diasuh oleh Ki Gedeng Sindangkasih, seorang Juru Pelabuhan Muara Jati di Kerajaan Sing Apura (Japura – Cirebon), dan Ki Gedeng Sindangkasih adalah pamannya sendiri atau adik daripada Prabu Ningrat Kencana alias Prabu Menak Kencana alias Prabu Dewa Niskala, Raja Pajajaran yang bertahta di Galuh Kawali (Mp. 1475 – 1486 M), ayahnya Pamanah Rasa alias Prabu Jaya Dewata alias Prabu Siliwangi. 

Prabu Jaya Dewata alias Prabu Siliwangi, sudah barang tentu lidahnya tidak asing mengecap ikan “Peda”, sayur mayur dan nasi yang disuguhkan ala kadarnya dalam sowan kekeluargaan dari pihak Ratu Rajamantri, oleh Eyang Bingbin pada waktu itu.

Oleh karena yang disuguhkan kepada pemimpin besar Raja Pajajaran tersebut adalah ikan  Peda, maka untuk menjaga kehormatan Prabu Siliwangi (jaga gengsi), Eyang Bingbin dan keluarganya menggantinya kata “Peda” dengan sebutan “Bedog Mintul”, oleh sebab itu menjadi tabu menyebut Peda di dusun Citengah.