Masa Pemerintahan Dalem Adipati Tanumaja dan Gejolak VOC

Author inimahsumedang • Kilas Balik • March 4, 2023

Dalem Adipati Tanumaja adalah bupati Sumedang Larang, tahun 1706 – 1709, setelah wafat ayahnya Pangeran Panembahan digantikan oleh putranya Raden Tanumaja dengan gelar Adipati, bupati pertama kali yang diangkat oleh VOC. Pengangkatannya pun disertai syarat, yaitu harus menempuh masa percobaan, kesetiaan dan ketaatan Raden Tanumadja terhadap pemerintah kompeni dan Pangeran Aria Cirebon sebagai atasannya karena Pangeran Aria Cirebon diangkat menjadi Gubernur di Priangan

Masa-masa awal pemerintahan Bupati Sumedang Dalem Adipati Tanumaja, adalah masa puncak pengaruh VOC/Belanda di Tanah Priangan. Ketika itu VOC atau Belanda semakin beranggapan bahwa pihaknya merasa benar-benar telah menguasai daerah ini. Dalam hal pemerintahan, terutama mengawasi para bupati.

Pihak VOC ingin kekuasaannya diakui oleh para bupati, antara lain dengan jaminan menjual hasil-hasil bumi tertentu kepada Belanda, dalam hal ini adalah VOC. Para bupati dilarang mengadakan hubungan dagang dan politik dengan pihak lain. Segala sesuatunya hanya VOC yang ingin memonopoli semua urusan dagang di Priangan dan seluruh tanah air.

Guna pelaksaan penanaman dan perdagangan hasil-hasil bumi, Belanda kemudian mengaturnya dalam suatu sistem khusus yang disebut Preangerstelsel atau Sistem Priangan, terutama untuk komoditas kopi, lada dan tarum. Bahkan kopi harus dijadikan komoditas utama dan tanaman wajib. Pembukaan kebun-kebun kopi secara besar-besaran mulai dilakukan di Cianjur pada tahun 1707.

Belanda juga memberikan beberapa hak-hak khusus kepada para bupati pada masa itu, di antara juga dalam hal memungut pajak berupa uang dan barang. Khusus di Priangan, pajak-pajak berupa uang dikenakan pada pasar dan warung-warung, lalu-lintas di jembatan, penjualan ternak, hasil laut, penjualan sawah dan tanah darat, serta pemotongan hewan.

Sedangkan pajak dikenakan terhadap barang-barang yang disebut cuke padi, pupundutan, dan pasedekah. Pajak atas padi (cuke padi) harus dibayar oleh petani sebesar 10 persen (sepersepuluh) dari hasil panen padi. Lalu sebesar 2/3 menjadi bagian untuk bupati. Sedangkan sisanya diserahkan kepada pegawai-pegawai pada kantor kewedanaan.

Pada masa pemerintahan Bupati Tanumaja, seluruh Sumedang dan daerah Priangan berada dibawah pengaruh kekuasaan Kompeni. Karena tiga bulan sebelum Pangeran Panembahan wafat, daerah ini – Sumedang dan Priangan – secara resmi diserahkan oleh Mataram kepada Kompeni sebagai balas jasa. Melalui perjanjian tanggal 5 Oktober 1705.

Bupati Tanumaja memerintah tidak lama, hanya tiga tahun (1706-1709). Namun sikap Tanumaja tidak berbeda dengan ayahnya, sangat kritis terhadap Kompeni. Tak lama menjabat, Bupati Tanumaja langsung menemui Gubernur Jenderal di Batavia untuk meminta agar peraturan yang mengharuskan para bupati di Priangan tunduk kepada Bupati Wedana, segera dicabut.

Bupati Tanumaja juga ingin mendapat gelar adipati, tapi ditentang oleh Bupati Wedana (Pangeran Aria Cirebon), sehingga konflik dengan Cirebon semakin meruncing. Permohonan Tanumaja ditolak oleh Kompeni, tapi kemudian Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia akhirnya mengabulkan permohonan Bupati Tanumaja untuk mendapat gelar adipati.

Semasa pemerintahannya yang singkat, Bupati Tanumaja sempat pula menyelesaikan pembangunan pendopo, serta meneruskan cita-cita ayahnya memindahkan ibukota Kabupaten Sumedang dari Tegalkalong ke Regolwetan pada tahun 1706.

Dia meninggal dunia pada 25 April 1709 dan dimakamkan di pemakaman Gunung Puyuh, dekat Kota Sumedang sekarang. Sebagai penggantinya, Kompeni mengangkat putera sulung Bupati Tanumaja yaitu Raden Kusumadinata, sebagai Bupati Sumedang. Juga diangkat Raden Sutanata menjadi Patih Sumedang.

Sumber: Buku Sumedang Heritage