Kisah Dewi Padi (1): Nyi Pohaci Sanghyang Sri dalam Wawacan Sulanjana

Author inimahsumedang • Budaya • January 17, 2024

Di Sumedang sendiri tentunya banyak yang mengenal tentang Dewi Sri atau Nyi Pohaci Sanghyang Sri, atau Dewi Padi yang di mana menjadi kesuburan. Begitu juga dengan tradisi-tradisi yang masih dilaksanakan seperti Mapag Sri, Mitembeyan Panen Dewi Sri, Ngalaksa, dan beberapa tradisi upacara kebudayaan lainnya. Kisah tentang Nyi Pohaci Sanghyang Sri terekam dalam Wawacan Sulanjana. Bahwa dari tanah kuburan Nyi Pohaci Sanghyang Sri tumbuh berbagai tanaman.

Wawacan Sulanjana adalah salah satu naskah Sunda yang berisi teks tentang mitologi padi, khususnya kisah Nyi Pohaci Sanghyang Sri. Penamaan judul Wawacan Sulanjana berasal dari kata “Wawacan”, yakni sebuah genre sastra berbentuk puisi yang dikenal oleh masyarakat Sunda terutama pada abad ke-19, sedangkan “Sulanjana” mengacu kepada salah satu tokoh utama di dalam cerita yang bertugas melindungi padi dari serangan antagonis yaitu Sapi Gumarang, Kalabuat (babi hutan), dan Budug Basu (hama) yang di dalam teks digambarkan sebagai perusak tanaman padi. Wawacan mulai dikenal masyarakat Sunda setelah masuknya pengaruh kebudayaan Jawa (terutama Mataram Islam) pada awal abad ke-17.

Teks Wawacan Sulanjana sangat populer di masyarakat Sunda. Kepopuleran itu bukan hanya dapat ditemui di desa-desa pertanian Sunda, seperti di Sumedang, Majalengka, atau Kuningan saja, tetapi juga dapat dicermati dari jumlah naskah Wawacan Sulanjana yang relatif banyak dan berasal dari berbagai daerah.

Tokoh Sri dalam Wawacan Sulanjana Tokoh dalam Wawacan Sulanjana dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu tokoh sebagai pelaku utama dan pelaku tambahan. Pelaku utama cerita ini adalah Dewa Guru, Sulanjana, dan Sapi Gumarang. Sedangkan pelaku tambahannya adalah Panji Narada, Dewa Anta, para dewa, Prabu Siliwangi, Dewi Nawang Wulan, Ki Semar, Budug Basu, Kalabuat, dan sebagainya.

Inti cerita dari Wawacan Sulanjana adalah tentang upaya Sulanjana menyelamatkan dan melindungi Nyi Pohaci Sanghyang Sri yang sudah berbentuk padi. Tokoh Nyi Pohaci Sanghyang Sri yang menjadi objek cerita merupakan anak yang lahir dari telur yang berasal dari air mata Naga Anta. Di dalam teks Wawacan Sulanjana, penyebutan Nyi Pohaci Sanghyang Sri biasa disebut Nyi Dewi Puhaci, kadang juga Nyi Pohaci. Nyi Pohaci Sanghyang Sri dibesarkan di kahyangan dan disusui oleh Dewi Uma istri Dewa Guru. Namun, ketika anaknya mulai agak besar tapi masih dalam proses menyusui, Yang Wenang, seorang dewa yang derajatnya lebih luhur dari Dewa Guru memiliki firasat bahwa Dewa Guru akan memperistri anak ini.

Singkat cerita, Nyi Pohaci meninggal. Setelah Nyi Pohaci meninggal lalu Dewa Guru memerintahkan Aki Bagawat untuk mempersiapkan ruangan kubur untuk mengubur jasadnya. Ketika mayat sudah dimandikan, disalatkan dengan tertib, lalu mayatnya dikuburkan. Dewa Guru memberi amanat kepada Bagawat untuk menjaga kuburannya. Setiap Jumat Aki Bagawat menyapu bersih kuburannya, tidak ada sampah atau daun satu lembar pun, kuburannya rapih bersih. Lama-lama dari kuburannya tumbuh berbagai macam tanaman. Berikut ini kutipannya dalam Wawacan Sulanjana, Pupuh 3, Kinanti baris 13 – 20:

1. Lila-lila tina kubur, bet aya kalapa jadi, jeung tina lebah sirahna, buah kalapa teu sami, heìjo beureum rupa buah, warna-warna hanteu sami.

Lama-lama dari kuburannya, tumbuh pohon kelapa, dari pas kepalanya, tumbuh juga buah kelapa yang tidak sama, hijau merah rupa buah, warnawarnanya tidak sama.

2. Salebah panon katuhu, eìta pareì anu jadi, sarta ngan saranggeuy pisan, buahna eìta teu sami, aya beureum aya bodas, buluna nya kitu deui.

Di sebelah mata kanan, ada padi yang tumbuh, hanya satu tangkai, buahnya juga tidak sama, ada yang merah ada yang putih, bulunya pun juga begitu.

3. Aya anu panjang bulu, sawareìh aya nu gundil, tina lebah naon keìnca, bijil pareì beureum eusi, buluna sawareìh aya nu gundil, tina lebah panon, buluna nya kitu pisan, aya panjang aya gundil.

Ada yang panjang bulu, ada yang gundul, dari sebelah mata kiri, keluar padi merah berisi, Sebagian bulunya gundul, dari pas mata, bulunya ya begitu, ada yang panjang ada yang gundul.

4. Aya anu beureum bulu, sawareìh aya nu putih, aya nu koneìng rupana, aya anu hideung kulit, anu jadi lebah mata, ketan saranggeuy bijil.

Ada yang merah berbulu, sebagian ada yang putih, ada yang kuning rupanya, ada yang hitam kulitnya, yang tumbuh pas mata, beras ketan satu tangkai tumbuh.

5. Bulu ketan geì nya kitu, aya panjang aya gundil, eusina nya kitu pisan, //13// aya hideung aya putih, aya nu beureum rupana, eusina kabeìh teu sami.

Bulu ketan juga begitu, ada yang panjang ada yang gundul, isinya juga begitu, ada yang hitam ada yang putih, ada juga yang merah rupanya, isinya semua tak sama.

6. Ti lebah pingping katuhu, haur cucuk anu jadi, ti lebah pingping ti keìnca, haur temen haur geulis, ti lebah bitis ti keìnca, awi tali anu jadi.

Dari sebelah paha kanan, bambu duri bertumbuh, dari sebelah paha kiri, tumbuh bambu haur temen dan haur geulis, dari betis sebelah kiri, tumbuh bambu tali.

7. Ti lebah bitis katuhu, awi teman anu jadi, eìta perkara wartana, jadi areuy bulat-beulit, buluna jadi sagala, cukup nu aya di bumi.

Dari betis sebelah kanan, bambu temen tumbuh, adapun urat nadinya, menjadi sembung rambat yang menjulat jalit.

8. Sakabeìh taya nu kantun, sapangeusi jagat bukti, sipat rupa nu dicekel, hanteu aya anu kari, ki Bagawat ngadeuheusan, uninga ka Yang Permeìsti.

Semua tidak ada yang ketinggalan, seluruh jagat menjadi buktu, sifat dan rupa yang digenggam, tidak ada yang tertinggal, Ki Bagawat menghadap, memberitahukannya kepada Yang Permesti.

Ki Bagawat menghadap kepada Dewa Guru menceritakan atas apa yang terjadi di kuburan Nyi Pohaci Sanghyang Sri. Setelah melihat langsung kuburannya lalu Dewa Guru memerintahkan Ki Bagawat untuk membawa rupa-rupa benih tanaman tersebut ke Pakuan, harus diberikan kepada Prabu Siliwangi. Benih dan surat tersebut lalu dibaca oleh Raja Pakuan, kemudian ia memerintahkan seluruh ponggawa dan rakyatnya untuk menanam benih. Seluruh benih yang diberikan tumbuh subur.

Dewa Guru lalu mengutus Semar untuk menjaga sawah dan tumbuhan yang subur tersebut. Kesuburan tanah Pakuan dan hasil panennya yang melimpah sampai ke telinga seseorang nahkoda yang bernama Dempu Awang. Dia menghitung uang sebanyak tiga ratus real, untuk membeli padi di pakuan. Namun, Prabu Siliwangi menolak menjual beras tersebut, karena benihnya dari Dewa Guru, jadi beras tersebut adalah milik Dewa Guru. Lalu Dempu Awang sakit hati dan dia bertemu dengan Sapi Gumerang.

Begitu mungkin singkat cerita tentang Nyi Pohaci Sanghyang Sri yang ada dalam Wawacan Sulanjana. Tentunya berbagai versi pun ada juga. Ada yang mengatakan bahwa padi tumbuh dari pusarnya. Nah, wargi Sumedang jika ada yang kurang silakan tulis di kolom komentar yah. Karena tentang Dewi Sri ini akan mimin tulis Kembali dengan sumber atau literatur dari naskah yang berbeda lagi.

Makin tahu Indonesia